Talentap.id
Beranda Personal Growth & Mindset Resign Diam-Diam: Fenomena Quiet Quitting yang Makin Banyak Terjadi

Resign Diam-Diam: Fenomena Quiet Quitting yang Makin Banyak Terjadi

Fenomena quiet quitting atau resign diam-diam menjadi tren baru di kalangan pekerja muda. Apa itu quiet quitting, kenapa makin banyak yang melakukannya, dan bagaimana dampaknya terhadap karier dan produktivitas?

Seorang wanita muda fokus menulis surat pengunduran diri di meja kerjanya

Ketika Karyawan Mulai “Bekerja Secukupnya”

Pernahkah kamu merasa bosan dengan pekerjaan tapi memilih tetap bertahan karena gaji atau keamanan finansial? Lalu, tanpa sadar kamu mulai mengerjakan tugas sebatas jobdesc, tidak mengambil inisiatif lebih, dan enggan terlibat lebih jauh dalam urusan kantor? Jika iya, mungkin kamu sudah mempraktikkan quiet quitting.

Fenomena resign diam-diam atau quiet quitting mulai banyak dibicarakan sejak viral di TikTok dan berbagai media global. Istilah ini tidak berarti karyawan betul-betul resign, melainkan secara perlahan menarik diri dari beban kerja yang dianggap berlebihan, tanpa keluar secara resmi dari perusahaan.

Bagi generasi muda yang sadar akan pentingnya kesehatan mental dan work-life balance, quiet quitting dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspektasi kerja berlebihan. Tapi apakah ini solusi sehat atau justru awal dari kemunduran karier?


Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting adalah istilah untuk menggambarkan sikap karyawan yang:

  • Hanya bekerja sesuai jam kerja (misal 09.00–17.00)
  • Tidak mengerjakan tugas di luar tanggung jawabnya
  • Menolak lembur yang tidak dibayar
  • Tidak ikut proyek tambahan tanpa kompensasi
  • Cenderung pasif, tidak proaktif dalam diskusi atau kegiatan tim

“I’m not quitting my job, I’m just quitting the idea of going above and beyond at work.” – Anonim, pekerja muda

Fenomena ini muncul sebagai bentuk resistensi terhadap hustle culture—budaya kerja keras berlebihan yang sering kali mengabaikan batas personal dan kesehatan mental.


Mengapa Quiet Quitting Jadi Tren?

1. Burnout yang Tidak Tertangani

Menurut survey Gallup 2023, sekitar 59% pekerja global merasa disengaged atau tidak terhubung secara emosional dengan pekerjaan mereka. Salah satu penyebab utamanya adalah burnout akibat beban kerja berlebih.

2. Minimnya Apresiasi

Banyak pekerja merasa kontribusinya tidak dihargai atau tidak sebanding dengan kompensasi. Akibatnya, semangat untuk “memberi lebih” pun hilang.

3. Prioritas Hidup yang Berubah

Pandemi COVID-19 membuat banyak orang mengevaluasi ulang hidup mereka. Keseimbangan hidup (work-life balance) kini menjadi prioritas dibanding promosi atau jabatan tinggi.

4. Lingkungan Kerja yang Toksik

Di tempat kerja yang penuh tekanan, tidak sehat secara psikologis, atau tidak mendukung pertumbuhan karyawan, quiet quitting bisa menjadi bentuk perlindungan diri.

5. Ketidakjelasan Karier

Karyawan muda sering kali tidak mendapat arahan atau pengembangan yang jelas dari perusahaan. Tanpa arah yang pasti, motivasi pun merosot.


Quiet Quitting: Salah Siapa?

Gambar relevan: Grafik hasil survei penyebab quiet quitting (Alt: “Faktor utama penyebab quiet quitting berdasarkan survei karyawan muda”)

Fenomena ini sebenarnya bukan sepenuhnya salah karyawan. Quiet quitting lebih sering merupakan gejala dari masalah sistemik dalam manajemen dan budaya organisasi.

Tanda-tanda Lingkungan Kerja yang Mendorong Quiet Quitting:

  • Tidak ada jenjang karier atau pengembangan skill
  • Manajer tidak peka terhadap kebutuhan tim
  • Tidak adanya feedback positif
  • Beban kerja melebihi kapasitas yang wajar
  • Budaya lembur dianggap normal

Dampak Quiet Quitting terhadap Karier dan Perusahaan

Dampak untuk Karyawan:

Positif:

  • Menjaga kesehatan mental dan fisik
  • Fokus pada prioritas hidup di luar pekerjaan
  • Menghindari kelelahan dan stres kronis

Negatif:

  • Sulit mendapat promosi atau kepercayaan atasan
  • Dianggap tidak antusias atau kurang kontribusi
  • Peluang pengembangan bisa tertutup

Dampak untuk Perusahaan:

  • Menurunnya produktivitas dan inovasi tim
  • Tingkat retensi karyawan rendah
  • Biaya rekrutmen dan pelatihan meningkat

Quiet Quitting vs Bare Minimum Monday vs Career Cushioning

Fenomena quiet quitting sering dikaitkan dengan tren-tren kerja lainnya:

Tren KerjaPenjelasan
Quiet QuittingBekerja secukupnya, tanpa inisiatif ekstra
Bare Minimum MondayMemulai minggu kerja dengan tugas minimal untuk mengurangi stres
Career CushioningMempersiapkan pekerjaan atau penghasilan cadangan sebagai jaga-jaga

Apakah Quiet Quitting Solusi Jangka Panjang?

Tidak semua orang bisa bertahan dengan strategi ini. Quiet quitting mungkin bekerja dalam jangka pendek, tapi tanpa solusi yang lebih holistik seperti perbaikan manajemen, dialog terbuka, atau reposisi karier, seseorang bisa kehilangan arah dan kepuasan kerja.

Tips Menghindari Quiet Quitting:

  1. Komunikasikan Ekspektasi
    Bicarakan beban kerja dan harapan dengan atasan secara jujur.
  2. Kelola Batasan Secara Sehat
    Bukan berarti anti kerja keras, tapi tahu kapan harus berkata “cukup”.
  3. Tetap Profesional, Walau Minim Motivasi
    Lakukan pekerjaan dengan baik meski tanpa ambisi lebih. Profesionalisme tetap penting.
  4. Temukan Meaning dalam Pekerjaan
    Hubungkan tugasmu dengan tujuan yang lebih besar—baik personal maupun sosial.
  5. Evaluasi Ulang Posisi dan Tujuan Karier
    Jika quiet quitting hanya menjadi pelarian, pertimbangkan untuk pindah ke tempat yang lebih sesuai dengan nilai dan kebutuhanmu.

Jangan Diam-Diam Resign, Suarakan Kebutuhanmu!

Quiet quitting hanyalah salah satu respons dari sistem kerja yang tidak seimbang. Tapi kamu berhak punya pekerjaan yang sehat, bermakna, dan membuatmu tumbuh.

Kamu bisa mulai dari:

  • Evaluasi ulang apa yang kamu butuhkan dari pekerjaan
  • Bangun komunikasi dua arah dengan atasan
  • Cari peluang belajar dan berkembang meski dalam kondisi tidak ideal
  • Bagikan artikel ini ke temanmu yang sedang mengalami hal serupa

FAQ Seputar Quiet Quitting

1. Apakah quiet quitting sama dengan malas bekerja?

Tidak. Quiet quitting bukan soal malas, tapi soal menarik diri dari ekspektasi berlebih dan menjaga batas profesional.

2. Apakah quiet quitting bisa berdampak buruk terhadap karier?

Bisa, terutama jika dilakukan terus-menerus tanpa komunikasi yang baik dengan atasan atau tanpa rencana karier yang jelas.

3. Bagaimana cara perusahaan mengatasi quiet quitting?

Perusahaan perlu memperbaiki komunikasi, memberikan feedback yang membangun, menyediakan jalur karier jelas, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat.

4. Apakah quiet quitting legal?

Ya, karena karyawan tetap menjalankan tanggung jawab sesuai kontrak kerja. Namun, loyalitas dan kontribusi bisa jadi perhatian manajemen.

5. Bagaimana membedakan quiet quitting dengan setting boundaries?

Setting boundaries bersifat terbuka dan komunikatif. Quiet quitting cenderung pasif dan diam-diam menarik diri.


Kerja bukan cuma soal gaji atau jabatan. Tapi juga soal nilai, kesehatan mental, dan ruang untuk menjadi diri sendiri.

Pilih jalan yang membuatmu sehat secara mental dan tetap berkembang. Bekerja keras itu penting, tapi jangan sampai kamu kehilangan arah dan lupa siapa dirimu.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan