Dibanding Quiet Quitting, Ini 3 Fenomena Baru Karyawan 2025 yang Lebih Ekstrem
Quiet quitting sudah bukan satu-satunya tanda karyawan merasa jenuh. Tahun 2025 menghadirkan tiga tren ekstrem baru yang lebih mengejutkan. Apa saja? Simak artikel ini sampai habis.

Ketika Quiet Quitting Tak Lagi Cukup: Ada Fenomena Baru yang Lebih Ekstrem
Quiet quitting sempat menjadi perbincangan hangat di dunia kerja selama dua tahun terakhir. Istilah ini menggambarkan kondisi di mana karyawan hanya bekerja sesuai jobdesc—tanpa inisiatif lebih, tanpa lembur, dan tanpa ikut drama kantor. Tapi kini, memasuki tahun 2025, dunia kerja menunjukkan gejala yang jauh lebih ekstrem.
Fenomena quiet quitting kini hanya puncak gunung es. Di bawahnya, ada gelombang baru perilaku karyawan yang mencerminkan kelelahan sistemik, krisis kepercayaan pada manajemen, hingga kebutuhan eksistensial akan keseimbangan hidup.
Dalam artikel ini, kita akan membahas tiga fenomena baru di tahun 2025 yang melampaui quiet quitting lebih radikal, lebih mengganggu, namun juga menjadi sinyal penting bagi perusahaan untuk berubah.
Mengapa Perlu Memahami Fenomena Baru Ini?
Sebagai pelajar, mahasiswa, atau profesional muda yang akan dan sedang masuk ke dunia kerja, memahami dinamika ini bisa menjadi bekal penting. Bukan untuk jadi “karyawan pembangkang,” tetapi untuk memahami ekosistem kerja secara realistis. Mengetahui perubahan tren kerja bisa membantu kita menyesuaikan strategi karier, menjaga kesehatan mental, dan tetap relevan di pasar tenaga kerja.
1. Loud Leaving: Ketika Karyawan Mundur dengan Sorotan
Fenomena ini adalah “antitesis” dari quiet quitting. Jika quiet quitting dilakukan diam-diam, loud leaving justru dilakukan dengan sengaja dan terbuka. Karyawan tidak hanya resign, tapi juga membawa narasi personal ke publik—entah melalui media sosial, podcast, atau forum komunitas.
Ciri-ciri utama Loud Leaving:
- Mengumumkan pengunduran diri dengan tulisan panjang di LinkedIn atau Twitter/X
- Mengungkap alasan mundur, terutama jika menyangkut perlakuan tidak adil atau lingkungan toksik
- Berusaha mengedukasi atau memberi peringatan bagi calon pekerja lain
Salah satu contoh nyata datang dari laporan Harvard Business Review (2024), yang menyebut meningkatnya fenomena exit posting di kalangan profesional Gen Z. Mereka tidak lagi takut bicara tentang “kenapa saya mundur” karena merasa itu bentuk advokasi.
Apa yang membuat ini ekstrem?
Loud leaving bisa berdampak pada reputasi perusahaan. Bahkan, bisa menciptakan krisis PR apabila disertai dengan bukti eksplisit seperti chat HR, data diskriminasi gaji, atau rekaman rapat yang tidak etis. Ini menandakan bahwa hubungan antara karyawan dan perusahaan kini bukan hanya soal kerja, tapi juga soal transparansi dan narasi publik.
2. Career Ghosting: Menghilang Tanpa Jejak
Jika ghosting biasanya terjadi dalam dunia percintaan, kini fenomena ini menjalar ke dunia kerja. Career ghosting adalah kondisi ketika seorang karyawan atau kandidat kerja tiba-tiba menghilang—tanpa kabar, tanpa surat resign, bahkan tanpa mengurus administrasi akhir.
Contoh perilaku career ghosting:
- Tidak hadir pada hari pertama kerja setelah tanda tangan kontrak
- Tiba-tiba tidak masuk tanpa pemberitahuan, dan tak dapat dihubungi
- Tidak menyelesaikan proses onboarding atau pelatihan online
- Menolak semua komunikasi dari HR, bahkan untuk pengambilan dokumen
Dalam survei oleh LinkedIn Talent Solutions (2025), 1 dari 6 profesional muda di Asia Tenggara mengaku pernah melakukan career ghosting, sebagian karena tawaran kerja yang lebih baik datang setelah kontrak ditandatangani, atau karena tidak tahan dengan tekanan psikologis saat masa probation.
Mengapa ini terjadi?
- Budaya kerja yang tidak transparan saat rekrutmen
- Proses onboarding yang tidak ramah atau terlalu birokratis
- Rasa tidak aman untuk jujur kepada atasan atau HR
- Meningkatnya tawaran remote job dari luar negeri yang lebih menjanjikan
Career ghosting adalah fenomena yang menyulitkan perusahaan, namun juga menunjukkan betapa banyak karyawan yang tidak merasa dihargai sejak hari pertama.
3. Productivity Sabotage: Membalas Sistem dengan Keacakan
Ini adalah bentuk protes yang lebih ekstrem dari quiet quitting. Alih-alih hanya “bekerja minimal”, karyawan secara aktif mengacaukan sistem kerja internal sebagai bentuk perlawanan pasif-agresif.
Contoh aksi productivity sabotage:
- Sengaja membuat error di laporan tapi menyalahkan sistem
- Menunda deadline dengan alasan teknis yang dibuat-buat
- Meneruskan pekerjaan yang salah ke rekan kerja tanpa koreksi
- Menolak join meeting penting dengan alasan personal yang tidak jelas
Fenomena ini lebih sulit dideteksi dibanding quiet quitting karena sering disamarkan sebagai “human error” atau masalah teknis. Namun dampaknya bisa serius: menurunnya kepercayaan tim, kerugian bisnis, bahkan konflik antar divisi.
Menurut penelitian dari Gartner (Q1 2025), lebih dari 20% organisasi global mengalami masalah produktivitas akibat sabotage terselubung, terutama di unit kerja yang mengalami burnout kolektif atau konflik dengan manajemen.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Fenomena-Fenomena Ini?
Ketiga tren baru ini menunjukkan bahwa dunia kerja sedang mengalami pergeseran paradigma. Karyawan terutama generasi muda tidak hanya menuntut gaji atau jenjang karier, tapi juga nilai, transparansi, dan perasaan dihargai.
Alih-alih menyalahkan karyawan karena tidak “loyal”, perusahaan harus introspeksi:
- Apakah budaya kerja cukup sehat?
- Apakah komunikasi dua arah benar-benar dijalankan?
- Apakah HR hanya jadi alat kepanjangan manajemen, atau hadir sebagai jembatan manusia?
Apa Dampaknya bagi Mahasiswa dan Fresh Graduate?
Bagi kalian yang akan memasuki dunia kerja atau sedang berada di tahap awal karier, memahami dinamika ini penting agar tidak terjebak dalam sistem yang tidak sehat. Tapi juga penting untuk menjaga profesionalitas.
Tips untuk kamu:
- Lakukan riset budaya kerja sebelum melamar
- Perjelas ekspektasi sejak interview
- Jangan takut menyuarakan ketidaknyamanan, tapi pilih medium yang tepat
- Jaga etika, meskipun kamu merasa kecewa
Bagaimana Perusahaan Bisa Merespons?
Agar fenomena seperti loud leaving, career ghosting, atau sabotage tidak makin meluas, perusahaan perlu:
- Membangun sistem feedback dua arah
- Memastikan transparansi dalam proses rekrutmen
- Memberikan pelatihan untuk manajer dalam membangun komunikasi yang sehat
- Membuka ruang bagi kritik internal, tanpa ancaman atau stigma
Jika kamu merasa artikel ini membuka wawasan baru tentang dunia kerja modern, bagikan ke temanmu yang sedang job hunting atau burnout. Jangan lupa subscribe newsletter kami untuk mendapatkan artikel eksklusif seputar karier, produktivitas, dan strategi bertahan di dunia kerja yang makin kompleks.
Atau jika kamu HR atau pimpinan tim, mari refleksi bersama: apakah perusahaanmu siap menghadapi realitas baru ini?
FAQ (Pertanyaan yang Sering Ditanyakan)
1. Apakah quiet quitting masih terjadi di 2025?
Ya, meskipun sudah tidak sepopuler 2023–2024, quiet quitting masih terjadi, terutama di kalangan karyawan yang belum punya alternatif karier.
2. Apa bedanya loud leaving dengan mengundurkan diri biasa?
Loud leaving melibatkan narasi publik, biasanya lewat media sosial, dan kerap mengandung kritik terhadap tempat kerja sebelumnya.
3. Career ghosting bisa dipidana atau tidak?
Secara hukum di Indonesia, jika sudah menandatangani kontrak kerja dan tidak melapor tanpa alasan jelas, bisa dianggap wanprestasi, meskipun jarang dibawa ke ranah hukum.
4. Bagaimana menghindari sabotage dalam tim kerja?
Mulailah dari membangun budaya komunikasi yang terbuka dan berempati. Dengarkan sinyal kecil dari tim, jangan tunggu sampai mereka membalas dengan aksi diam-diam.
5. Apakah tren-tren ini hanya terjadi di startup?
Tidak. Fenomena ini juga ditemukan di korporasi besar, BUMN, bahkan institusi pendidikan, karena dasarnya adalah relasi kerja yang tidak sehat, bukan jenis industrinya.