Ketika Presiden Bicara Ekonomi Digital, Tapi Pendidikan Kita Masih Manual
Indonesia mengincar ekonomi digital triliunan rupiah, tapi sistem pendidikan masih bergelut dengan absen manual dan kurikulum kuno. Apa yang perlu dibenahi agar visi negara tidak mandek di meja kelas?

Visi Digital, Praktik Masih Analog
Presiden dan para pejabat publik kita kerap menyebut potensi ekonomi digital Indonesia sebagai masa depan. Pemerintah menargetkan nilai ekonomi digital Indonesia bisa mencapai 360 miliar dolar AS pada 2030. Tapi, ketika bicara pendidikan, sebagian besar sekolah dan kampus masih mengandalkan absen kertas, tugas tulis tangan, dan sistem belajar yang sama seperti era sebelum internet.
Ada yang tidak nyambung. Satu sisi ingin melaju dengan AI dan big data, sisi lain masih sibuk menata rak buku perpustakaan dan mengisi RPP manual. Lalu, bagaimana kita bisa mengejar cita-cita ekonomi digital kalau sumber daya manusianya belum disiapkan dari bangku sekolah?
Apa Itu Ekonomi Digital dan Mengapa Penting?
Ekonomi digital adalah aktivitas ekonomi yang didukung oleh teknologi digital, termasuk e-commerce, fintech, startup teknologi, hingga profesi digital seperti data analyst, software developer, dan content creator.
Menurut Google, Temasek, dan Bain & Company (2023), Indonesia adalah pasar digital terbesar di Asia Tenggara, dengan pertumbuhan e-commerce dan fintech yang paling pesat. Tapi sayangnya, 1 dari 3 tenaga kerja Indonesia masih kekurangan literasi digital dasar.
Ketimpangan Antara Kurikulum dan Kebutuhan Industri
1. Kurikulum yang Tidak Responsif
Banyak sekolah dan kampus masih menggunakan kurikulum yang tidak mengikuti tren industri digital. Mata pelajaran seperti coding, literasi digital, atau desain UI/UX masih jarang dijadikan mata kuliah wajib.
2. Sistem Pengajaran yang Monoton
Sebagian besar pembelajaran masih berorientasi pada hafalan, bukan pemecahan masalah. Padahal, dunia kerja digital menuntut kemampuan kolaboratif, kreatif, dan adaptif.
3. Akses Teknologi yang Belum Merata
Menurut data Kemendikbudristek, hingga 2024 masih ada ribuan sekolah yang belum memiliki akses internet stabil. Di kampus sekalipun, koneksi Wi-Fi lambat dan sistem LMS yang outdated masih jadi keluhan umum.
Tantangan di Dunia Pendidikan Digital
Infrastruktur Teknologi Pendidikan Masih Lemah
Banyak guru dan dosen belum terbiasa menggunakan Learning Management System (LMS), video conference, atau tools digital seperti Google Workspace, Canva, atau Notion.
Literasi Digital Guru dan Murid Belum Merata
Pelatihan digital seringkali hanya sebatas teori. Akibatnya, guru kesulitan mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran yang bermakna.
Evaluasi yang Masih Manual
Ujian nasional memang sudah diganti, tapi banyak sistem evaluasi pembelajaran masih bergantung pada ujian tertulis. Proyek digital, portofolio online, atau asesmen berbasis keterampilan belum jadi standar.
Mengapa Kesenjangan Ini Perlu Diperbaiki?
- SDM yang tidak siap digital akan tertinggal dalam persaingan kerja.
- Startup lokal kekurangan talenta yang relevan dengan kebutuhan pasar.
- Target ekonomi digital hanya akan jadi jargon politik tanpa dukungan pendidikan yang adaptif.
Solusi: 5 Hal yang Bisa Ditingkatkan
1. Perbarui Kurikulum dengan Fokus Digital
Tambahkan mata pelajaran berbasis teknologi sejak dini. Tidak harus canggih, yang penting relevan. Ajarkan coding sederhana, data literasi, dan etika digital di SMA atau SMK.
2. Digitalisasi Sistem Sekolah dan Kampus
Gunakan platform digital untuk absensi, tugas, diskusi, hingga penilaian. Platform seperti Google Classroom, Moodle, atau LMS lokal bisa jadi solusi.
3. Latih Guru dan Dosen Secara Praktis
Pelatihan digital harus aplikatif, bukan hanya seminar PowerPoint. Ajak guru membuat konten digital, mengelola kelas daring, dan memberi asesmen berbasis proyek.
4. Kolaborasi dengan Dunia Industri
Undang praktisi digital ke dalam kelas. Libatkan startup dan perusahaan teknologi dalam menyusun kurikulum atau memberi mentoring.
5. Bangun Ekosistem Pembelajaran Mandiri
Dorong mahasiswa dan pelajar untuk belajar lewat platform seperti Coursera, Ruangguru, atau YouTube. Kampus harus mengakui pembelajaran ini sebagai bagian dari SKS atau portofolio.
Realita Mahasiswa: Belajar Sendiri, Berjuang Sendiri
Banyak mahasiswa akhirnya mencari ilmu dari luar kampus karena sistem di dalamnya tidak mencukupi. Mereka ikut bootcamp, belajar online, magang di startup, dan membangun portofolio pribadi. Tapi ini semua dilakukan tanpa dukungan resmi dari kampus.
Ada yang berhasil, ada yang tersesat karena tidak tahu harus belajar apa dulu. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan belum mampu menjadi navigator utama dalam era digital.
Saatnya Pendidikan Jadi Mitra Strategis, Bukan Penghambat
🔍 Apakah kamu merasa sistem pendidikanmu relevan dengan cita-cita digital negara?
📢 Bagikan artikel ini ke dosen, guru, atau temanmu yang sedang frustasi dengan kurikulum usang.
🚀 Mari dorong kampus dan sekolah untuk segera bertransformasi, bukan cuma bicara “merdeka belajar” tanpa praktik.
FAQ: Pertanyaan Seputar Pendidikan dan Ekonomi Digital
1. Apakah Indonesia siap masuk ke era ekonomi digital?
Secara pasar dan pengguna, ya. Tapi dari segi kesiapan SDM dan sistem pendidikan, masih banyak PR.
2. Apakah belajar digital harus selalu mahal?
Tidak. Banyak platform seperti YouTube, Coursera, dan bahkan Google menyediakan kursus gratis berkualitas tinggi.
3. Bagaimana cara siswa bisa belajar teknologi meski sekolah belum mendukung?
Mulailah dari belajar mandiri. Gunakan platform daring, komunitas belajar, dan proyek pribadi untuk membangun keterampilan.
4. Apakah pemerintah punya program pelatihan digital?
Ada, seperti Digital Talent Scholarship dari Kominfo dan program Kampus Merdeka. Tapi distribusinya masih terbatas.
5. Apa peran guru dan dosen dalam transisi digital?
Peran mereka sangat krusial sebagai fasilitator dan navigator. Maka pelatihan yang berkelanjutan mutlak dibutuhkan.