Talentap.id
Beranda Personal Growth & Mindset Karyawan Sudah Lelah ‘Overdelivering’, Apakah Harus Kembali ke Batas Normal?

Karyawan Sudah Lelah ‘Overdelivering’, Apakah Harus Kembali ke Batas Normal?

Banyak karyawan muda merasa kelelahan karena terus-menerus overdelivering. Saatnya mempertanyakan, apakah bekerja secukupnya itu salah? Simak jawabannya di artikel ini.

Wanita muda fokus bekerja dikelilingi buku dan dokumen kerja

Ketika Standar Kerja Terus Naik, Tapi Kesejahteraan Tidak Ikut

Di awal masuk kerja, banyak dari kita diajarkan satu hal: tampilkan performa terbaik. Maka kita pun terbiasa melakukan lebih dari yang diminta—mengambil alih tugas rekan, lembur meski tak dibayar, ikut rapat walau bukan bagian proyek. Semua demi satu tujuan: dianggap layak, dihargai, dan punya peluang naik jabatan.

Namun kini, banyak karyawan mulai menyadari satu hal pahit: overdelivering tidak selalu dibalas dengan penghargaan. Bahkan, kadang ekspektasi justru makin tinggi, sedangkan apresiasi tetap di tempat. Yang awalnya dianggap inisiatif jadi dianggap kewajiban.

Hasilnya? Kelelahan mental, burnout berkepanjangan, dan hilangnya batas antara hidup pribadi dan pekerjaan. Di sinilah muncul pertanyaan penting apakah kita perlu kembali ke batas kerja yang normal?

Artikel ini akan membahas kenapa overdelivering bisa jadi bumerang, apa dampaknya secara psikologis dan profesional, serta bagaimana cara membangun batas kerja yang sehat tanpa takut dianggap “kurang berkontribusi”.


Apa Itu Overdelivering dan Kenapa Jadi Kebiasaan?

Overdelivering adalah situasi ketika seseorang memberikan hasil kerja melebihi ekspektasi secara terus-menerus. Di awal karier, ini sering dianggap sebagai strategi untuk menonjolkan diri. Namun jika dibiarkan, overdelivering bisa menjadi kebiasaan yang merugikan diri sendiri.

Mengapa overdelivering menjadi kebiasaan umum?

  • Budaya hustle culture
    Lingkungan kerja yang memuja kerja keras ekstrem membuat banyak orang merasa bersalah jika hanya bekerja sesuai porsi.
  • Kurangnya kejelasan indikator performa
    Karyawan tidak tahu apa yang dianggap cukup, sehingga mereka terus menambah usaha demi “main aman”.
  • Ketakutan akan PHK atau tidak diperpanjang kontrak
    Di tengah ketidakpastian ekonomi, karyawan merasa harus menunjukkan performa luar biasa agar tetap dianggap dibutuhkan.
  • Kebutuhan validasi
    Tidak sedikit yang merasa dihargai hanya jika berhasil “menyelesaikan segalanya”.

Dampak Negatif dari Terus-Menerus Overdelivering

Meskipun tampak menguntungkan secara jangka pendek, overdelivering yang berkelanjutan bisa merusak banyak aspek hidup.

1. Burnout Kronis

Kelelahan emosional dan fisik yang berujung pada hilangnya motivasi kerja. Menurut data dari Deloitte Global 2023, lebih dari 59% karyawan Gen Z melaporkan merasa burnout setidaknya sekali dalam enam bulan terakhir.

2. Persepsi Tidak Seimbang dari Manajemen

Saat kamu terus overdeliver, manajer mungkin melihatnya sebagai “standar baru”. Maka ketika suatu waktu kamu hanya bekerja sesuai porsi, dianggap “menurun”.

3. Mengorbankan Kesehatan dan Kehidupan Pribadi

Lembur berkepanjangan, minim istirahat, dan tidak ada waktu untuk hobi atau keluarga bisa berdampak pada kualitas hidup secara keseluruhan.

4. Meningkatkan Ketimpangan Beban Kerja

Jika kamu selalu mengambil tugas tambahan, bisa jadi rekan lain terbiasa melempar tanggung jawab. Ini menciptakan ketimpangan dalam tim.


Apakah Bekerja “Cukup” Itu Salah?

Bekerja sesuai jobdesc bukan berarti malas. Justru, memahami batas kontribusi adalah bagian dari profesionalisme. Setiap karyawan berhak menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental.

Dalam banyak kasus, karyawan yang mampu mengatur batas kerja dengan baik justru memiliki performa lebih konsisten dan hubungan kerja lebih sehat. Bukan karena mereka “santai”, tetapi karena mereka tahu kapan harus fokus dan kapan harus berhenti.


Bagaimana Menyusun Batas Normal yang Sehat?

Jika kamu ingin keluar dari siklus overdelivering tanpa kehilangan kepercayaan atasan, berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Kenali dan Komunikasikan Kapasitasmu

Jangan ragu mengatakan, “Saya bisa bantu, tapi ini bisa selesai minggu depan.” Jujur tentang kapasitas bukan berarti menolak kerja, tapi menunjukkan perencanaan realistis.

2. Tentukan Jam Kerja dan Waktu Offline

Buat aturan pribadi seperti tidak mengecek email setelah jam 7 malam, atau tidak mengerjakan revisi di hari libur.

3. Gunakan Tools Manajemen Waktu

Aplikasi seperti Notion, Trello, atau Google Calendar bisa membantu mengatur beban kerja agar tidak menumpuk di satu hari.

4. Ajukan Feedback Secara Berkala

Sampaikan progress ke atasan secara berkala. Ini akan membantu mereka memahami bahwa kamu bekerja terstruktur meski tidak “mendadak heroik”.

5. Latih Kemampuan Menolak Secara Profesional

Pelajari cara mengatakan “tidak” dengan sopan tapi tegas. Contoh: “Saya senang diberi kepercayaan, tapi saat ini saya sedang fokus menyelesaikan X. Mungkin kita bisa jadwalkan ulang?”


Mengapa Kembali ke Batas Normal Justru Produktif?

Karyawan yang tahu kapan harus berhenti bekerja punya keunggulan jangka panjang. Mereka lebih tahan stres, punya ide lebih segar, dan relasi kerja yang lebih sehat. Beberapa alasan kenapa bekerja sesuai porsi bisa jadi pilihan cerdas:

  • Meminimalkan kesalahan akibat kelelahan
  • Mempertahankan kualitas kerja daripada kuantitas semu
  • Membangun budaya tim yang saling jaga, bukan saling beban
  • Meningkatkan retensi dan kesejahteraan karyawan

Perlukah Dunia Kerja Memikirkan Ulang Standar Kontribusi?

Pertanyaan ini penting, karena bukan hanya karyawan yang perlu refleksi. Perusahaan juga harus sadar bahwa produktivitas tidak selalu sejalan dengan jam kerja berlebihan. Menilai kontribusi dari hasil, bukan dari jumlah lembur atau email tengah malam, adalah langkah awal menuju ekosistem kerja yang sehat.

Beberapa langkah yang bisa diambil oleh perusahaan:

  • Menetapkan ekspektasi yang realistis
  • Membuat sistem evaluasi berbasis output, bukan waktu kerja
  • Menghargai batas kerja karyawan
  • Memberikan ruang istirahat tanpa rasa bersalah

Jika kamu merasa sudah terlalu sering overdelivering dan mulai kelelahan, saatnya mengatur ulang ritme kerja. Bagikan artikel ini ke rekan kerjamu, tim HR, atau atasanmu sebagai bahan diskusi sehat tentang batas kerja yang wajar. Jangan lupa subscribe newsletter kami untuk mendapatkan artikel terbaru seputar pengembangan karier dan kesehatan mental di dunia kerja.

Kamu berhak produktif tanpa merasa dikuras habis.


FAQ (Pertanyaan yang Sering Ditanyakan)

1. Apakah overdelivering bisa merusak karier saya?
Tidak langsung, tapi jika terus dilakukan tanpa manajemen energi, bisa menimbulkan burnout dan penurunan performa. Dalam jangka panjang, itu bisa berdampak negatif.

2. Apakah akan dianggap kurang semangat jika bekerja sesuai jobdesc?
Tidak. Asalkan pekerjaan selesai dengan baik dan target tercapai, bekerja sesuai porsi adalah bentuk profesionalisme.

3. Bagaimana cara berhenti overdelivering tanpa kehilangan kepercayaan atasan?
Komunikasikan progres kerja secara terbuka, beri batasan yang jelas, dan pastikan hasil kerjamu tetap berkualitas.

4. Apa tanda saya sudah terlalu sering overdelivering?
Kamu merasa lelah terus-menerus, mulai tidak menikmati pekerjaan, dan merasa bersalah setiap kali menolak tugas tambahan.

5. Apakah semua perusahaan menghargai batas kerja?
Sayangnya belum semua. Tapi tren global mulai bergeser ke arah work-life balance. Jika perusahaanmu belum mendukung, kamu bisa mulai mengatur dari diri sendiri.

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan